Semenjak kebijakan komerisalisasi pendidikan diterapkan, pendidikan semakin diposisikan sebagai sebuah komoditas jasa bagi orang yang sanggup membayar. Di Indonesia perubahan ini dapat ditengarai dengan semakin mahalnya harga pendidikan dan semakin susahnya pendidikan diakses oleh orang kebanyakan. Fenomena di bidang pendidikan ini merupakan bagian dari fenomena global tentang komersialisasi dan privatisasi layanan publik. Memang benar pernyataan bahwa pendidikan memiliki nilai ekonomi sehingga pendidikan kemudian bisa dikomoditaskan. Namun ada permasalahan yang cukup unik dalam sudut pandang tersebut, yang menempatkan pendidikan sebagai komoditas jasa. Bahwa komersialisasi telah mengalami kesalahan yang fundamental saat diaplikasikan kedalam pendidikan serta semua relasi sosialnya. Posisi inilah yang akan diargumentasikan dalam tulisan ini.
Komersialisasi Pendidikan tinggi di Indonesia.
Status BHMN (Badan Hukum Milik Negara) yang dianugerahkan kepada Universitas-Universitas di Indonesia merupakan gerbang dari proses komersialisasi pendidikan tinggi. Dalam proses tersebut, sasaran pertama adalah universitas-universitas negeri yang telah memiliki nama besar seperti UI, ITB, UGM dll. Universitas-universitas tersebut dipilih untuk dapat memenuhi prasyarat dari sebuah komoditas, yaitu memilki nilai tukar dan nilai guna yang layak untuk dipertukarkan secara sosial. Dalam hal ini nama besar dan anggapan tentang jaminan mutu merupakan modal yang cukup kuat. Seperti tidak puas dengan model BHMN maka diperkenalkanlah model baru, yaitu BHP (Badan Hukum Pendidikan). Kali ini pengkomoditasan pendidikan sudah melangkah lebih jauh lagi, pemerintah semakin lepas tangan dari tanggung jawabnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam model BHP pemerintah hanya mengambil tanggung jawab pendanaan maksimal sebesar sepertiga dari seluruh anggaran universitas. Sementara universtas-universitas negeri yang sudah terbiasa bergantung sepenuhnya kepada pemerintah tidak bisa dengan mudah mengubah paradigmanya, dari setiap hari disuapi oleh pemerintah mendadak diharuskan bisa mecari makan sendiri, akhirnya beban pendanaanpun jatuh kepada sumber dana yang paling mudah dan tidak punya kuasa untuk menolak: mahasiswa.
Komersialisasi pendidikan, tranformasi pendidikan menjadi salah satu komoditas jasa sebenarnya berfungsi untuk meningkatkan kualitas pendidikan itu sendiri. Agumentasinya sederhana: Jika suatu obyek atau layanan telah menjadi komoditas maka ia akan mengikuti mekanisme pasar dan untuk dapat bertahan dalam pasar maka ia harus terus berkembang baik dalam hal inovasi maupun kualitas. Dalam sistem pasarpun, harga sebuah komoditas tidak bisa ditentukan semena-mena oleh produsen. Interaksi antara produsen dan konsumen juga merupakan faktor penentu. Kita tentu masih ingat dengan kasus kartel dagang yang ‘mencurangi’ konsumen dalam penentuan harga SMS. Demikian juga dengan yang seharusnya terjadi pada komoitas pendidikan. Hal ini yang diharapkan oleh J.R. Shackleton, Kepala Westminster Business School. Dia menyatkan bahwa:
The commodification of higher education is here to stay. It is important, then, that people are given an appropriate range of choice, quality assurance and a fair and open pricing system. The Secretary of State for Education, Charles Clarke, further stresses higher education.s role in the enhancement of the knowledge economy via the production of economically beneficial graduates and research.
Pilihan, jaminan kulitas dan sistem harga terbuka adalah yang seharusnya mampu diberikan oleh sebuah universitas setelah mengkomoditaskan pendidikan. Namun ternyata saat komersialisasi tersebut telah selesai dilaksanakan semua jargon-jargon tersebut justru tidak terlaksana sebagaimana yang dinyatakan oleh Sir Geoffrey Holland dari Departemen pendidikan di Inggris, bahwa Universitas-universitas di Inggris telah “failing to develop the flexibility and consumer choice that people expect from other services, including quality assurance and money-back refunds or guarantees”.
Pelajar Sebagai ‘Konsumen’ Pendidikan
Pembahasan tentang ‘pelajar sebagai kosumen pendidikan’ ini menjadi penting dalam memahami sepenuhnya pola interaksi dalam sistem pendidikan yang telah dikomerisalisasi. Apakah para pengguna jasa pendidikan benar-benar berinterkasi sebagaimana seorang kosumen? Bagaimana mereka memahami relasinya dalam proses pendidikan?
Paul Cooper, peneliti di Universitas Southampton telah melakukan riset tentang persepsi pelajar dalam perannya sebagai komsumen pendidikan. Hasilnya sebagian besar tidak memposisikan dirinya sebagai konsumen pendidikan, sebagaimana yang dinyatakan oleh salah satu subyek penelitiannya, Liz. “I really don’t think of (education) as buying anything, really. I haven’t equated it with that in my head. Certainly not. To me, the job market or my working life, this is something completely different. It’s a completely different world.”. Sebagian besar subyek penelitan masih memegang pemikiran tradisional tentang pendidikan sebagai sebuah pencapaian yang mulia, pencapaian ilmu. Selain itu, ada kesulitan untuk memandang pendidikan sebagai komoditas. Saat dilakukan perbandingan antara pendidikan dan komoditas jasa yang lain maka akan ditemukan argumen sebagaimana yang dinyatakan oleh Matt.
“The difference is that when you buy a service – whether it be a haircut, a solicitor, or whatever – you are actually expecting them to provide something for you… you give them the money in return for them providing you with something. It’s not particularly interactive on your part. Whereas I would consider paying money to go to a university… it’s very much down to you, and the effort that you put in, the result that you gain from it. You couldn’t come into a university, pay the fees, do nothing for three years and expect to get a satisfactory result”
Pada akhir artikelnya Paul (2004) menyatakan bahwa meskipun para pelajar itu sadar tentang adanya uang yang harus mereka bayarkan untuk mendapatkan pendidikan namun mereka sulit untuk menerima bahwa pendidikan adalah komoditas dan mereka adalah konsumen pendidikan tersebut. Aspek yang menyebabkan munculnya pemahaman tersebut adalah pemahaman tradisional mereka tentang nilai luhur pendidikan dan fakta tentang tiadanya layanan yang sebenarnya dalam proses pendidikan serta tidak munculnya relasi kosumen-produsen dalam proses pendidikan, khususnya antara pelajar dan dosen. Relasi yang ada tetap berupa relasi tradisional yang memposisikan dosen lebih superior dan dominan dibandingkan pelajar. Hal ini benar-benar bukan cerminan dari relasi konsumen-produsen dalam pasar. Semua ini merupakan petunjuk bahwa saat ini proses komersialisasi pendidikan telah mengalami kegagalan dalam skala individual, khususnya dalam relasi antara pendidik dan terdidik.
Pendidikan dalam Ruang Sosial
Hampir semua aliran filsafat pendidikan akan sepakat dengan pernyataan bahwa pendidikan adalah salah satu tiang peradapan kita saat ini. Dalam sebuah sistem sosial, pendidikan memegang peran penting untuk melakukan transfer ‘sejarah’ perkembangan masyarakat. Baik ilmu pengetahuan yang berhasil ditemukan oleh umat manusia sepanjang sejarah maupun nilai-nilai universal yang telah berhasil membangun peradapan manusia yang lebih baik. Tanpa adanya pendidikan, semua transfer ini akan sulit dilakukan. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya bisa diakses oleh semua orang, atau paling tidak oleh sebanyak-banyaknya orang. Kondisi ini memungkinkan terjadinya perkembangan mayarakat yang lebih cepat. Namun dengan komersialisasi pendidikan kondisi optimal tadi tidak bisa telaksana, salah satunya adalah keterbatasan akses pendidikan akibat semakin tingginya biaya pendidikan. Dalam logika komoditas, uang merupakan syarat perlu untuk bisa melakukan tukar-menukar. Dan saat pendidikan dijadikan komoditas maka aturan yang sama juga berlaku padanya. Saat ini, biaya pendidikan merupakan salah satu aspek penghambat adanya akses pendidikan bagi masyarakat. Untuk kasus di Inggris, Paul (2004) menyatakan “The de facto cost of their university education is an issue of universal concern and is often reflected in a variety of decisions, including whether or not they feel they can afford a university education at all.”. Kondisi yang sama juga terjadi di Indonesia, semenjak munculnya kebijakan BHMN yang kemudian dilanjutkan dengan BHP kemampuan akses masyakat terhadap pendidikan juga semakin turun. Mengingat tentang pentingnya pendidikan bagi perkembangan masyarakat, fakta-fakta ini tentu cukup mengkhawatirkan.
Pendidikan bukanlah Komoditas.
Status pendidikan saat ini, yang sudah dikategorikan sebagai komoditas haruslah dikaji ulang. Sebagaimana telah dikaji di dua topik terdahulu bahwa komersialisasi pendidikan, baik di level individu maupun sosial, telah gagal memenuhi harapan yang diembankan kepadanya, yang terjadi justru munculnya kesulitan yang memiliki implikasi yang signifikan terhadap masyarakat.
Atropolog cenderung membedakan antara komoditas dan gift komoditas. Menurut Marx(1877), komoditas adalah:
[an] objects that are socially desirable and which have both an exchange and a use value. Transfer of commodities is typically facilitated via the medium of money, which may be viewed as a generalized medium of exchange and simultaneously serves as the means to the measurement of values and the storage of wealth.
Lebih jauh lagi Parry (1989), menjelaskan ketiadaan moral dalam proses pertukaran komoditas. Dalam proses ini yang penting adalah keuntungan dan bisa terwujudnya akumulasi modal yang cepat.
The exchange of commodities is predicated upon obligations of contract, namely the binding agreement between parties to exchange goods and services for a pre-specified sum and within a pre-specified period of time. Such exchanges are therefore characterized as essentially impersonal and short-term phenomena, in which the only moral obligations are the legalistic relations obtaining between mutually disinterested parties.
Jika pendidikan dijadikan sebagai komoditas maka semua nilai luhur pendidikan akan luntur dan digantikan oleh nilai-nilai pasar yang mekanik. Jika kondisi tersebut telah terjadi, hilanglah garda terakhir dari kemanusiaan., sebuah institusi sosial yang sanggup mendorong perubahan sosial. Lebih jauh Paul (2004) menjelaskan kecacatan dalam komoditas pendidikan:
The flaws inherent in construing education as commodity are revealed both in the individuating features of educational processes that I have described and in the unease felt by many educators at much of the language and practices of commercial management, which often contradict direct experience of teaching and learning. The commoditization of education risks ignoring the personal and social obligations inherent in educational processes, together with the levels of effort and commitment required on the part of all concerned. A much more fruitful perspective is to conceive of education as fundamentally dependent on social interactions and as mutually implicated in relationships of gift exchange
Untuk mencegah itu terjadi, Paul (2004) menyarankan agar pendidikan dijadikan sebagai gift komoditas, yaitu sebuah benda atau layanan yang memiliki potensi untuk dijadikan sebagai komoditas dan tidak dijadikan sebagai komoditas, melainkan ‘diberikan’ oleh masyarakat kepada anggota-anggotanya. Gift komoditas ini dipahami sebagai sarana untuk menciptakan serta menjaga relasi antara individu dan masyarakatnya, juga sebagai tanggung jawab sosial dari masyarakat terhadap individu di dalamnya. Dengan demikian, maka pendidikan akan kembali menjadi sesuatu yang dapat dimiliki publik, yang berarti dapat diakses secara luas oleh seluruh lapisan masyarakat.
Selasa, 01 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar